Padang Timur, Dua Realitas Pola Pikir
Merespon Virus Corona
Pertama, adalah selesai dan sebenarnya
tidak ada masalah jika menganut pola piker, bahwa pandemi virus corona adalah
ketentuan Tuhan.
Apabila ada yang menyebut virus corona
sebagai “tantara Tuhan” yang tengah dikirim ke bumi. Pasrah. Makanya, untuk apa
harus cemas, dan panik. Soal musibah, sakit, dan kematian adalah ketentuan
Tuhan. Kalua Tuhan menghendaki, maka terjadilah.
Buat
apa susah-susah ikhtiar dan usaha menghindarinya. Semua yang terjadi atas
ketentuan Tuhan. Maka, sudah selesai, sampai di situ. Titik
Kedua,
berbeda dengan pola pikir yang pertama. Benar bahwa virus corona adalah
ketentuan Tuhan. Tidak bisa dimungkiri. Karena itu adalah ranah teologi.
Tetapi
jika dikembangkan lebih lanjut dengan mengikuti kisah Umar bin Khattab,
misalnya, saat hendak berkunjung ke Syam (Suriah) yang terpapar penyebaran
wabah penyakit menular, kemudian ia mengambil keputusan mengurungkan
kunjungannya dalam upaya dan ikhtiar menghindarinya, maka realitas pola pikir
seperti ini menjadi lain. Lebih cenderung dinamis.
Pernyataan
populer Umar bin Khattab saat itu adalah, "Aku menghindar dari satu takdir
(ketentuan
Tuhan), dan berpindah ke takdir (ketentuan Tuhan) yang lain."
Artinya,
manusia itu memiliki potensi akal untuk berpikir, dan kemampuan untuk melakukan
ikhtiar
dan usaha menghindari pandemi virus corona. Tidak cenderung berpikir
fatalistik.
Itulah
yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia yang positif terpapar virus
corona.
Jadi
langkah yang terakhir itu, anti lockdown, seperti kebijakan yang dilakukan pemerintah
Indonesia, sebenarnya tanggung, walaupun tetap sangat penting. Tapi yang jelas
masih menyisakan kegamangan, dan menambah kecemasan warga
Karena
langkah-langkah yang dilakukan itu sebatas mengganggap virus corona sebagai
pandemi global, darurat nasional virus corona, dan kejadian luar biasa (KLB).
Belum
sampai pada lockdown.
Tentu atas dasar berbagai faktor dan pertimbangan. Faktor ekonomi, paling
tidak, adalah faktor utama ketidaksiapan melakukan lockdown.
Ini yang sedang dilakukan di Indonesia.
Social Distance, Rajin Cuci Tangan, dan Kerja dari Rumah
Menjaga jarak sosial (social distance), membatasi dan mengurangi aktivitas-aktivitas di luar rumah jika tidak urgen, memaksa dan mendesak, menghindari keramaian dan kerumunan massa, adalah langkah-langkah dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran penularan
Menjaga jarak sosial (social distance), membatasi dan mengurangi aktivitas-aktivitas di luar rumah jika tidak urgen, memaksa dan mendesak, menghindari keramaian dan kerumunan massa, adalah langkah-langkah dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran penularan
Konsekuensinya,
jika bisa, lakukan pekerjaan di rumah saja, tidak perlu berangkat ke tempat
kerja atau ke kantor, dan proses belajar mengajar diliburkan sementara, sampai
batas waktu yang sudah ditentukan, minimal 14 hari.
Jaga
jarak dan kontak langsung setidaknya satu meter dengan penderita, dan orang
yang batuk, bersin, atau demam, agar tidak terkena percikan pernafasan
Hindari
menyentuh permukaan benda-benda yang dikhawatirkan terkontaminasi virus corona.
Rajin cuci tangan setidaknya dua puluh detik dengan air dan sabun, atau pakai
cairan pembersih tangan berbasis alkohol (hand sanitizer).
Usahakan tidak perlu jabat tangan atau salaman, apalagi pelukan dengan siapa
pun yang tidak jelas asal usulnya.
Dilema bagi yang Bekerja pada Pelayanan Publik
Ini yang menjadi persoalan, ketika tidak diberlakukan lockdown untuk penyebaran penularan virus corona. Bagaimana nasibnya bagi orang-orang yang bekerja pada pelayanan publik, seperti di rumah sakit, bandara, transportasi, termasuk pelayanan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA), terutama pegawai pencatat nikah atau penghulu KUA?
Pegawai-pegawai
pada KUA harus tetap masuk. Karena tidak mungkin menyetop pendaftaran dan
pelayanan pernikahan untuk beberapa bulan ke depan.
Orang
yang mau nikah itu tidak ada liburnya. Selalu ada calon pengantin yang daftar
nikah. Sudah ada pendaftaran nikah secara daring, tapi tidak berfungsi.
Belum
lagi ada bulan-bulan tertentu yang menjadi semacam musimnya kawin atau nikah. Kecuali
Bulan Ramadan, suka sepi, dan jarang ada nikah. Meskipun ada, paling banter
satu dua pasangan calon pengantin yang melaksanakan pernikahan.
Diundur
atau ditunda sementara tanpa batas waktu yang ditentukan, adalah mustahil. Bisa
menimbulkan problem. Sudah bisa dipastikan, tidak ada yang mau calon pengantin melakukan
itu.
Ada
juga kasus pindah tempat acara akad nikah dan resepsinya. Karena rencana awal
digelar di gedung. Pengelola gedung membatalkannya, karena sesuai intruksi
pemerintah, bahwa tidak boleh menggelar acara yang mengundang banyak orang.
Terpaksa
acara akad nikah dipindah ke balai nikah KUA. Aneh makanya, di gedung dilarang,
tapi di balai nikah KUA kok boleh, dan tidak bisa dilarang. Padahal sama-sama
gedung.
Belum
lagi bagi penghulu KUA. Adalah dilema dan buah simalakama, karena penghulu KUA
itu sesuai tugas pokoknya dan standar operasional prosedur (SOP), mesti
menghadiri acara akad nikah, dan mencatat pernikahan secara legal, yang
jauh-jauh hari sudah didaftarkan dan direncanakan sebelum virus corona itu
datang, atau Indonesia
positif corona
Bagaimana
mungkin, penghulu menolak, bisa-bisa dikomplain oleh calon pengantin. Mau tidak
mau, penghulu harus manut untuk hadir dalam acara akad nikah
Bagaimana
mungkin, penghulu bisa menghindari dan menjaga jarak sosial (social
distance), dan kontak langsung dengan orang (publik).
Alih-alih
menjaga jarak dan kontak langsung setidaknya satu meter dengan orang, justru
yang terjadi harus dekat banget jaraknya dengan calon pengantin dan keluarga
besarnya. Haruskah penghulu pakai masker saat memandu acara akad nikah? Aneh
amat, jadi kayak pasukan ninja.
Atau
menghindari keramaian dan kerumunan massa, jelas penghulu sulit untuk itu.
Karena biasanya hampir banyak yang hadir saat akad nikah, minimal dua keluarga
besar calon pengantin. Pengantarnya saja bermobil-mobil, bahkan ada yang pakai
bus, dan berbus-bus pula.
Saat
akad nikah yang menggunakan pengeras suara, atau pakai toa. Bagaimana mungkin
penghulu bisa menghindari untuk tidak menggunakan mikrofon
Dan
adakah jaminan mikrofon yang biasanya berpindah-pindah dari satu tangan ke
tangan yang lain, dan dari satu mulut ke mulut yang lain itu, benar-benar
higienis, bersih, dan bebas dari virus corona lewat percikan pernafasan? Masa
penghulu harus bawa mikrofon sendiri?
Lantas
berjabat tangan dengan calon pengantin dan keluarganya, bisakah atau etiskah penghulu
menolak dan menghindar untuk itu?
Kalau
Presiden Jokowi jelas enak dan tidak ada masalah. Ia bisa menjaga jarak sosial
(social distance), dan
kontak langsung dengan orang per orang atau publik
Kemarin
saja (16/03/2020), ia membagikan foto di semua akun media sosialnya yang
memperlihatkan adegan telekonferensi acara rapat terbatas (ratas) dan rapat
koordinasi dengan para menterinya. Penghulu mana bisa, Pak Presiden, please!
Penghulu
KUA tentu tidak bisa seperti itu dalam pelayanan akad nikah. Akad nikah lewat
telekonferensi, baik audio maupun visual (video) masih menjadi persoalan
kontroversi.
Walaupun
dalam fikih (hukum Islam), ada mazhab yang membolehkan itu. Tetapi masyarakat
kita masih tabu, dan belum siap dengan pelaksanaan akad nikah lewat
telekonferensi.
Padahal
yang menjadi kontroversi dan perbedaan pendapat antar mazhab itu sekadar
berkaitan dengan masalah rukun nikah, terutama wali nikah, calon mempelai pria,
dua orang saksi, dan ijab qabul yang harus memenuhi syarat berada pada satu
ruang dan waktu yang bersamaan (fi majlisin wahidin, dalam satu majelis), serta ijab qabul
harus bersifat langsung, benar-benar sejalan dan bersambung, tanpa ada jeda dan
berjarak.
Maka,
ketika wali nikah dan calon mempelai pria berada jauh, terpisah ruang dan
waktu, seperti lewat telekonferensi tadi, misalnya, ada mazhab (Syafi'i) yang
mengganggap pernikahan seperti itu tidak sah. Tapi, ada mazhab yang lain
(Hambali dan Hanafi), menganggap sah.
Sementara
penghulu atau petugas pencatatan pernikahan itu sebenarnya berfungsi melegalkan
saja sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaannya
jelas penting juga, atas nama negara. Tapi pada prinsipnya bisa diatur,
termasuk tanda tangan di berkas akta nikah. Bisa saja sebelum, atau sesudah
peristiwa akad nikah dilangsungkan.
Semuanya
apa yang tidak bisa, asal tidak bertentangan banget dengan hukum. Apalagi dalam
keadaan kahar pandemi virus corona seperti
ini. Mestinya, bisa dimaklumi.
Topik
yang berkaitan dengan ini, nanti saja dielaborasi khusus panjang lebar dalam
tulisan yang lain.
Sekarang
kembali ke soal Covid-19. Orang-orang yang aktif
bekerja dalam pelayanan publik, atau publik pigur adalah dilema dan buah
simalakama, mengingat terbilang rentan terpapar virus pandemi corona ini.
Karena
mereka merasa kesulitan menghindari dan menjaga jarak sosial (social distance) dan
kontak langsung dengan orang. Ini memang menjadi problem ketika tidak lockdown total
terhadap penyebaran penularan pandemi virus corona
(Covid-19) ini
Akhirnya,
ini sebuah risiko. Yang penting, bagaimana para penghulu dan orang-orang yang
aktif bekerja pada pelayanan public, untuk pandai-pandai menjaga diri, waspada,
dan hati-hati agar tidak terpapar virus corona. (sumber: https://www.kompasiana.com/muissunarya/5e70697dd541df1b7e7289a3/dilema-penghulu-kua-dan-calon-pengantin-ketika-tidak-lockdown?page=all)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar