Selamat Datang di Blog KUA Kecamatan Padang Timur, Sebelum mengurus pendaftaran Kehendak Nikah silahkan periksa data di KK dan samakan dengan dokumen Kependudukan yang dimilki

Jumat, 20 Maret 2020

Dilema Penghulu KUA Ketika Tidak Lockdown



Padang Timur, Dua Realitas Pola Pikir Merespon Virus Corona
Pertama, adalah selesai dan sebenarnya tidak ada masalah jika menganut pola piker, bahwa pandemi virus corona adalah ketentuan Tuhan.
Apabila ada yang menyebut virus corona sebagai “tantara Tuhan” yang tengah dikirim ke bumi. Pasrah. Makanya, untuk apa harus cemas, dan panik. Soal musibah, sakit, dan kematian adalah ketentuan Tuhan. Kalua Tuhan menghendaki, maka terjadilah.
Buat apa susah-susah ikhtiar dan usaha menghindarinya. Semua yang terjadi atas ketentuan Tuhan. Maka, sudah selesai, sampai di situ. Titik

Kedua, berbeda dengan pola pikir yang pertama. Benar bahwa virus corona adalah ketentuan Tuhan. Tidak bisa dimungkiri. Karena itu adalah ranah teologi.

Tetapi jika dikembangkan lebih lanjut dengan mengikuti kisah Umar bin Khattab, misalnya, saat hendak berkunjung ke Syam (Suriah) yang terpapar penyebaran wabah penyakit menular, kemudian ia mengambil keputusan mengurungkan kunjungannya dalam upaya dan ikhtiar menghindarinya, maka realitas pola pikir seperti ini menjadi lain. Lebih cenderung dinamis.
Pernyataan populer Umar bin Khattab saat itu adalah, "Aku menghindar dari satu takdir
(ketentuan Tuhan), dan berpindah ke takdir (ketentuan Tuhan) yang lain."
Artinya, manusia itu memiliki potensi akal untuk berpikir, dan kemampuan untuk melakukan
ikhtiar dan usaha menghindari pandemi virus corona. Tidak cenderung berpikir fatalistik.
Itulah yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia yang positif terpapar virus corona.
Ada yang lockdown, dan ada juga yang tidak. Atau paling tidak, semi lockdown.
Jadi langkah yang terakhir itu, anti lockdown, seperti kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, sebenarnya tanggung, walaupun tetap sangat penting. Tapi yang jelas masih menyisakan kegamangan, dan menambah kecemasan warga
Karena langkah-langkah yang dilakukan itu sebatas mengganggap virus corona sebagai pandemi global, darurat nasional virus corona, dan kejadian luar biasa (KLB).
Belum sampai pada lockdown. Tentu atas dasar berbagai faktor dan pertimbangan. Faktor ekonomi, paling tidak, adalah faktor utama ketidaksiapan melakukan lockdown. Ini yang sedang dilakukan di Indonesia.
Social Distance, Rajin Cuci Tangan, dan Kerja dari Rumah
Menjaga jarak sosial (social distance), membatasi dan mengurangi aktivitas-aktivitas di luar rumah jika tidak urgen, memaksa dan mendesak, menghindari keramaian dan kerumunan massa, adalah langkah-langkah dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran penularan
Konsekuensinya, jika bisa, lakukan pekerjaan di rumah saja, tidak perlu berangkat ke tempat kerja atau ke kantor, dan proses belajar mengajar diliburkan sementara, sampai batas waktu yang sudah ditentukan, minimal 14 hari.
Jaga jarak dan kontak langsung setidaknya satu meter dengan penderita, dan orang yang batuk, bersin, atau demam, agar tidak terkena percikan pernafasan
Hindari menyentuh permukaan benda-benda yang dikhawatirkan terkontaminasi virus corona. Rajin cuci tangan setidaknya dua puluh detik dengan air dan sabun, atau pakai cairan pembersih tangan berbasis alkohol (hand sanitizer). Usahakan tidak perlu jabat tangan atau salaman, apalagi pelukan dengan siapa pun yang tidak jelas asal usulnya.

Dilema bagi yang Bekerja pada Pelayanan Publik
Ini yang menjadi persoalan, ketika tidak diberlakukan lockdown untuk penyebaran penularan virus corona. Bagaimana nasibnya bagi orang-orang yang bekerja pada pelayanan publik, seperti di rumah sakit, bandara, transportasi, termasuk pelayanan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA), terutama pegawai pencatat nikah atau penghulu KUA?
Pegawai-pegawai pada KUA harus tetap masuk. Karena tidak mungkin menyetop pendaftaran dan pelayanan pernikahan untuk beberapa bulan ke depan.
Orang yang mau nikah itu tidak ada liburnya. Selalu ada calon pengantin yang daftar nikah. Sudah ada pendaftaran nikah secara daring, tapi tidak berfungsi.
Belum lagi ada bulan-bulan tertentu yang menjadi semacam musimnya kawin atau nikah. Kecuali Bulan Ramadan, suka sepi, dan jarang ada nikah. Meskipun ada, paling banter satu dua pasangan calon pengantin yang melaksanakan pernikahan.
Diundur atau ditunda sementara tanpa batas waktu yang ditentukan, adalah mustahil. Bisa menimbulkan problem. Sudah bisa dipastikan, tidak ada yang mau calon pengantin melakukan itu.
Ada juga kasus pindah tempat acara akad nikah dan resepsinya. Karena rencana awal digelar di gedung. Pengelola gedung membatalkannya, karena sesuai intruksi pemerintah, bahwa tidak boleh menggelar acara yang mengundang banyak orang.
Terpaksa acara akad nikah dipindah ke balai nikah KUA. Aneh makanya, di gedung dilarang, tapi di balai nikah KUA kok boleh, dan tidak bisa dilarang. Padahal sama-sama gedung.
Belum lagi bagi penghulu KUA. Adalah dilema dan buah simalakama, karena penghulu KUA itu sesuai tugas pokoknya dan standar operasional prosedur (SOP), mesti menghadiri acara akad nikah, dan mencatat pernikahan secara legal, yang jauh-jauh hari sudah didaftarkan dan direncanakan sebelum virus corona itu datang, atau Indonesia positif corona
Bagaimana mungkin, penghulu menolak, bisa-bisa dikomplain oleh calon pengantin. Mau tidak mau, penghulu harus manut untuk hadir dalam acara akad nikah
Bagaimana mungkin, penghulu bisa menghindari dan menjaga jarak sosial (social distance), dan kontak langsung dengan orang (publik).
Alih-alih menjaga jarak dan kontak langsung setidaknya satu meter dengan orang, justru yang terjadi harus dekat banget jaraknya dengan calon pengantin dan keluarga besarnya. Haruskah penghulu pakai masker saat memandu acara akad nikah? Aneh amat, jadi kayak pasukan ninja.

Atau menghindari keramaian dan kerumunan massa, jelas penghulu sulit untuk itu. Karena biasanya hampir banyak yang hadir saat akad nikah, minimal dua keluarga besar calon pengantin. Pengantarnya saja bermobil-mobil, bahkan ada yang pakai bus, dan berbus-bus pula.
Saat akad nikah yang menggunakan pengeras suara, atau pakai toa. Bagaimana mungkin penghulu bisa menghindari untuk tidak menggunakan mikrofon
Dan adakah jaminan mikrofon yang biasanya berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, dan dari satu mulut ke mulut yang lain itu, benar-benar higienis, bersih, dan bebas dari virus corona lewat percikan pernafasan? Masa penghulu harus bawa mikrofon sendiri?
Lantas berjabat tangan dengan calon pengantin dan keluarganya, bisakah atau etiskah penghulu menolak dan menghindar untuk itu?
Kalau Presiden Jokowi jelas enak dan tidak ada masalah. Ia bisa menjaga jarak sosial (social distance), dan kontak langsung dengan orang per orang atau publik
Kemarin saja (16/03/2020), ia membagikan foto di semua akun media sosialnya yang memperlihatkan adegan telekonferensi acara rapat terbatas (ratas) dan rapat koordinasi dengan para menterinya. Penghulu mana bisa, Pak Presiden, please!
Penghulu KUA tentu tidak bisa seperti itu dalam pelayanan akad nikah. Akad nikah lewat telekonferensi, baik audio maupun visual (video) masih menjadi persoalan kontroversi.
Walaupun dalam fikih (hukum Islam), ada mazhab yang membolehkan itu. Tetapi masyarakat kita masih tabu, dan belum siap dengan pelaksanaan akad nikah lewat telekonferensi.
Padahal yang menjadi kontroversi dan perbedaan pendapat antar mazhab itu sekadar berkaitan dengan masalah rukun nikah, terutama wali nikah, calon mempelai pria, dua orang saksi, dan ijab qabul yang harus memenuhi syarat berada pada satu ruang dan waktu yang bersamaan (fi majlisin wahidin, dalam satu majelis), serta ijab qabul harus bersifat langsung, benar-benar sejalan dan bersambung, tanpa ada jeda dan berjarak.
Maka, ketika wali nikah dan calon mempelai pria berada jauh, terpisah ruang dan waktu, seperti lewat telekonferensi tadi, misalnya, ada mazhab (Syafi'i) yang mengganggap pernikahan seperti itu tidak sah. Tapi, ada mazhab yang lain (Hambali dan Hanafi), menganggap sah.
Sementara penghulu atau petugas pencatatan pernikahan itu sebenarnya berfungsi melegalkan saja sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaannya jelas penting juga, atas nama negara. Tapi pada prinsipnya bisa diatur, termasuk tanda tangan di berkas akta nikah. Bisa saja sebelum, atau sesudah peristiwa akad nikah dilangsungkan.
Semuanya apa yang tidak bisa, asal tidak bertentangan banget dengan hukum. Apalagi dalam keadaan kahar pandemi virus corona seperti ini. Mestinya, bisa dimaklumi.
Topik yang berkaitan dengan ini, nanti saja dielaborasi khusus panjang lebar dalam tulisan yang lain.
Sekarang kembali ke soal Covid-19. Orang-orang yang aktif bekerja dalam pelayanan publik, atau publik pigur adalah dilema dan buah simalakama, mengingat terbilang rentan terpapar virus pandemi corona ini.
Karena mereka merasa kesulitan menghindari dan menjaga jarak sosial (social distance) dan kontak langsung dengan orang. Ini memang menjadi problem ketika tidak lockdown total terhadap penyebaran penularan pandemi virus corona (Covid-19) ini
Akhirnya, ini sebuah risiko. Yang penting, bagaimana para penghulu dan orang-orang yang aktif bekerja pada pelayanan public, untuk pandai-pandai menjaga diri, waspada, dan hati-hati agar tidak terpapar virus corona. (sumber: https://www.kompasiana.com/muissunarya/5e70697dd541df1b7e7289a3/dilema-penghulu-kua-dan-calon-pengantin-ketika-tidak-lockdown?page=all)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar